h1

GUNUNG AGUNG

January 30, 2011

14 Mei 2010

Jalur Pura Pasar Agung, Klungkung, Bali
Rencana awal keberangkatan dengan mobil ke Bali pun terpaksa harus segera disubstitusi mengingat hanya saya dan Andy saja yang berangkat. Dan, motor Honda Grand Tahun 97 milik Andy pun dijadikan kendaraan untuk dikendarai ke Bali. Lumayan, biar lebih berkesan adventurenya, touring pun kami geber ke Bali.

Kami berangkat pukul 20.00 dari Surabaya, hujan deras tak hentinya menemani perjalanan kami sepanjang jalur lintas Pasuruan-Probolinggo ditambah banjir juga dibeberapa titik. Namun perjalanan tetap kami lanjutkan malam itu, seakan basahnya pakaian dan sepatu tak kami hiraukan lagi. Perjalanan semalam yang sepi dan mencekam ketika masuk melintasi alas Baluran bukan lagi sebuah ketakutan bagi kami, mengingat Puncak Agung yang telah menancap sebagai angan-angan di otak kami berdua. Pukul 03.30 dini hari kami menyebrang ke Gilimanuk dan tiba di Gilimank kira-kira 1,5 jam berikutnya.

Langit masih saja menampilkan diorama birunya subuh ketika kami menginjakkan kaki di Pulau Dewata, karena lelah kami mencari POM untuk beristirahat memejamkan mata sejenak. Kira kira pukul 07.15 WITA Saya membangunkan Andya, dan perjalanan bersepeda motor akan dilanjutkan kembali menuju Denpasar. Kabupaten demi Kabupaten kami lalui, mulai dari Melaya, Negara, Tabanan, Hingga kira-kira 3 jam kemudian kami telah masuk jalanan kota Denpasar. Kami buka Peta Pulau bali yang saya bawa untuk melihat rute manakah yang akan kami lalui untuk menuju ke Kabupaten Karang Asem.

Rasa lelah terus meliputi perjalanan kami menuju ke Kabupaten Karang Asem, untung saja saat itu cuaca agak mendung, jadi tidak terlalu panas saat kami harus menyusuri jalanan aspal Pulau Dewata. Kami berhenti sejenak di salah satu Alfamart di daerah Sakka untuk melengkapi Logistik bawaan. Lalu kami melanjutkan perjalanan lagi, seketika panas yang dirudung oleh mendung hingga kemudian hujan turun menemani perjalanan kami ke Pura Besakih. Karena dirasa tidak begitu deras, perjalanan kami lanjutkan menyusuri tanjakan menuju ke Kompleks Pura. Hingga kira-kira pukul 13.45 kami tiba di depan gerbang Pura besakih.

Kami tengok kiri-kanan, dimana letak Pos Pendakiannya, tempat kami bisa mencatatkan diri sebelum memulai pendakian. Dan tiba-tiba seorang pemuda berbaju adat, lengkap dengan udheng-nya menghampiri kami, dia menyarankan untuk turun dan mendaftarkan diri dulu di Pos pendakian yang ternyata telah terlewati dijalanan bawah. Tanpa basa-basi, pemuda yang ternyata tergabung dalam Organisasi Guide Pura Besakih itu menjelaskan pada kami ini-itu tentang teknis pendakian Gunung Agung berikut biaya administrasi Jasa Guide-nya per pendakian. Hah!!! Kami langsung terkejut mendengar nominal biaya perijinan dan Guide yang harus kami bayar untuk bisa mendaki. GILAAA……800 ribu untuk sekali pendakiannya. Setelah kami tawar-pun Cuma bisa turun jadi 600 ribu minimal. Si-Guide bilang pada kami, kalau mereka juga harus setor minimal 500ribu untuk setiap pendakiannya, jadi kalau ongkosnya 600 ribu, mereka mendapat fee hanya sebesar 100 ribu saja.

Gilaaa…benar benar gila!! Kami sempat dibuat sakit hati……..jauh-jauh kita bertandang lintas Jawa, eh ternyata seperti ini perlakuan para Guide disini, mereka meng-komoditikan alam dengan begitu komersilnya atas nama organisasi. Ketika kami berniat berkeliling lihat-lihat Pura Pasar agung, mereka-pun masih sempat sempatnya memasang tarif untuk kami. Sebuah nilai yang kami rasa sangat tidak masuk akal. Toh, kami kan juga turis lokal. Mengapa disana begitu komersil sekali. Dengan sangat kecewa, kami mengurungkan melihat Pura Besakih dan langsung memilih turun. Saya langsung teringat kalau Gunung Agung tidak hanya bisa didaki dari Pura Besakih saja, masih ada jalur Pura Pasar Agung.

Di sepanjang perjalanan turun, kami bertanya penduduk sekitar kemana jalan menuju Pura Pasar Agung. Ternyata lumayan jauh jaraknya, sebab pura pasar Agung terletak jauh di Pedalaman Klungkung, Bali. Jalanan aspal menanjak yang kami lalui seakan hanya berputar-putar tak berujung. Sebuah Plang penunjuk arah sempat membuat kami sedikit tersesat, untung saja kami bertemu dengan penduduk sekitar yang kebetulan kami jumpai. Kami bertanya padanya kemana arah Pura Pasar Agung, melihat kami membawa peralatan perang dan memakai motor ber-plat “L”. Si penduduk local yang bernama “Kadek” itu langsung menawarkan jasa memandu perjalanan kami Mendaki Gunung Agung. Negosiasi tawar menawar harga berlangsung, setelah harga cocok, kami bertukar nomor telepon. Mas Kadek menyuruh kami menunggu di Pura terlebih dahulu, dia akan menyusul malamnya, dan pendakian akan dimulai pukul 02.00 dinihari. Kami susuri lagi jalan aspal yang berputar-putar, makin lama jalanan makin sempit dan menanjak, kami masuk daerah hutan yang masih lebat, untung motor Honda Grand ’97 Andy masih mampu menjajaki tanjakan demi tanjakan, hingga di ujung bukit akhirnya kami tiba di halaman Parkir Pura Pasar Agung. Saat itu pukul 16.30, suasana sunyi dan berkabut, hanya dua orang penjaja makanan terlihat di parkiran. Kami memarkir motor dan bersorak. Ini sebuah kebanggaan, akhirnya kami tiba di Pura Pasar Agung. Tidak terlihat apa-apa, suasana begitu sunyi, baru terlihat serombongan orang menuruni anak tangga Pura, mereka ternyata baru saja usai melakukan sembahyang. Diantara mereka ternyata adalah pasangan suami istri Bpk. Ida Bagus Wisma, yang telah mentraktir kami minum kopi(Terima Kasih), heehehe…..

Setelah semua orang turun, dan warung tutup, kami dirikan tenda di halaman parkir dan memarkir motor kami disebelahnya. Layaknya musafir, setidaknya, tenda adalah tempat kami untuk bisa beristirahat. Hujan turun malam itu, lumayan deras. Beberapa orang yang akan bersembahyang sempat membangunkan kami, mereka menyuruh kami untuk naik ke Pura saja, dan tak perlu buka tenda. Namun, karena tidak tahu apa-apa dan tidak ada yang dikenal disana, kami jadi canggung, dan memilih tetap di halaman parkir saja.

Pukul 21.00 Guide kami, Mas Kadek telah tiba. Beliau membangunkan kami, dan mengajak kami bermalam di Pura. Nah, karena sudah ada yang kami kenal kami jadi tidak canggung lagi, kami packing ulang isi tas dan gulung kembali tenda lalu naik ke Pura Pasar Agung. Dari Halaman parkir, ke Pura Pasar Agung ternyata masih harus menaiki anak tangga sejauh sekitar 500 meter. Oleh Mas Kadek, kami diajak bermalam di Dapur Pura. Meskipun sederhana, namun tempat itu begitu hangat, ada kompor dan perapian didalam ruangan. Orang-orang Pura begitu baik, mereka menjamu kami dengan secangkir Kopi Susu. Kami menghabiskan malam itu dengan berbincang-bincang panjang tentang adat istiadat masyarakat Bali dan ke-originalitasannya, juga beberapa cerita dan mitos seputar Pura Pasar Agung. Pukul 23.30 Mas Kadek mempersilahkan saya beristirahat, dan saya-pun akhirnya ikut terlelap juga.

Mas Kadek tiba-tiba membangunkan saya, dan ternyata jam sudah menunjukkan pukul 02.10. Kami packing ulang logistik, sebab kami hanya bawa satu keril keatas. Tanpa perlu membawa tenda, hanya makanan, kompor, snack, dan 3 botol air saja. Setelah berpamitan dengan orang-orang di pura, kami langsung melanjutkan perjalanan. Ternyata trek pendakiannya menyisiri jalanan belakang Pura Pasar Agung hingga menemui jalan setapak masuk batas hutan.

Jalanan langsung berubah menjadi tanah liat yang licin di hutan, belum lagi pipa pipa air penduduk yang melintang sangat menganggu disepanjang trek, mau kami injak tapi takut kalau pecah nantinya sebab sebagian besar pipa masih berupa pipa air PVC biasa. Semakin kedalam hutan, jalanan makin menanjak dan sempit. Hingga kira-kira lepas 20 menit perjalanan, trek tanah liat berubah menjadi hamparan batu-batu kerikil, dan makin menanjak dengan kemiringan kira kira 45-50 derajat. Banyak sekali percabangan-percabangan disini, namun semuanya akan bertemu lagi di satu jalur. Medan yang terjal memaksa kami berulang kali berhenti untuk rehat sejenak. Dan.. ketika kami menoleh ke belakang sebuah suguhan pemandangan yang menakjubkan dari Pulau Bali tertata rapi di depan mata kami. Sebuah pemandangan yang tidak ada di objek-objek wisata pada umumnya…. sebuah pemandangan menakjubkan punya Gunung Agung. Tampak dari atas, batas garis pantai Pulau Bali sisi selatan, juga Pulau Nusa Penida diseberangnya. Ditambah dengan keindahan sorot lampu By Pass Sanur dan bulan yang sedang bulat penuh pada malam itu. Saya dan Stepi hanya bisa berdecak kagum menyaksikan ini semua, kelap kelip lampu-lampu kota Denpasar dan sekitarnya juga tak kalah terangnya dengan bintang-bintang diatasnya. Kapal-kapal yang melintas di perairan tampak tergoyang kekanan-kekiri oleh deru ombak samudera malam itu. Hampir semua hamparan Pulau Bali tergelar dibawah kami, dan kami benar-benar serasa berada diatap Pulau. Kami puaskan menatapi semua deskripsi alam yang benar-benar luas ini. Seakan tak ada habisnya batas mata memandang. Dimanjakan, meskipun dalam gelap sunyi dan dinginnya dihi hari.. semuanya bisa dibilang sempurna.

Kami lanjut jalan lagi hingga tiba di batas vegetasi pada pukul 05.00 WITA. Suasana masih gelap saat itu, belum ada tanda-tanda matahari mengintip sama sekali. Kami Istirahat sejenak disini, angin dingin mulai turun dari puncak. Menggelitik tenguk dan sisi sisi kulit kami. Mas Kadek bercerita panjang lebar disini, mulai dari tingkah pola para tamu yang pernah diantarkannya, sampai soal Desa Trunyan yang melegenda. Sorot lampu senter tampak beriring-iringingan diatas, berjalan memutari batu batu terjal puncaknya. Mereka adalah rombongan turis luar dari Austria yang berangkat duluan.

Saat ingin bikin minuman hangat dan Indomie kami baru sadar kalau ternyata gas yang kami bawa tertinggal dibawah. Sialan, kami Cuma bawa kompor plus nestingnya saja. Ya sudah, kami makan mentah-mentah saja itu mie instant, hehehee…hiburan untuk mengisi perut yang mulai terasa ringan.
15 menit rehat, lalu kami jalan lagi. Makin beranjak pagi, angin yang turun makin kencang saja berhembus. Semua pemandangan hijau dibawah, total digulung habis disini, berganti dengan pemandangan bebatuan cadas yang tandus.

Sekilas, kontur medan puncaknya mirip dengan Gn.Raung (3332 m dpl) di Bondowoso, Jawa Timur yang cadas dan tandus. Tapi Gn.Agung lebih liar, bebatuannya lebih besar-besar, licin dan terjal. Kalau di Raung, batu-batu sedimentasinya sudah menguning dan hampir seperti warna tanah. Sedangkan, di gunung Agung masih Putih dan kadang dijumpai masih memerah. Masih jelas sekali tanda-tanda bekas vulkanisnya masih tergolong baru kalau dibandingkan dengan Raung yang masuk kategori Gunung Api tua.

Dari sini, jalur ke Puncak masih sangat kabur, tidak jelas treknya. Sebab yang dilalui adalah batuan-batuan cadas, bukan trek kerikil dan pasir seperti di Mahameru, Rinjani atau Raung. Jadi, jejak susah sekali membekas di bebatuannya. Sangat rawan sekali, terutama bagi yang belum tahu treknya, saya sarankan lebih baik mengajak guide saja. Mengingat kami jauh-jauh dari Surabaya, Mas Kadek merasa sangat sayang sekali kalau harus dilewatkan jalur pendakian yang biasanya. Maka, dari batas vegetasi, Mas kadek potong jalur ke Kanan, menuruni jalur lahar dan menyebrangi punggungan bukit yang lumayan bikin deg-degan saat melewatinya. Belum lagi ketika kami harus memanjat batu-batuan besar. Sungguh sebuah petualangan yang sebanding dengan jarak yang kami tempuh untuk bisa sampai kesini. Langit mulai terang, namun sayang sekali, sunrise pagi itu malu untuk keluar karena mendung yang menggelayut sedari tadi. Hamparan pulau Bali tergelar dibawah kami, hutan hutan yang masih hijau di sekitaran Klungkung seolah menjadi gulungan permadani hijau dibawah puncak Sang Agung. Garis-garis pantai begitu eksotis beradu dengan debur ombak samudera di selatan. Di sisi timur, siluet puncak Rinjani tampak memukau dalam saputan kabut. Inilah kami, diantara indahnya ciptaan Tuhan yang Maha Besar, tak habis diucap kata, tak bosan dipandang mata. Cuma bisa terdiam, terpukau menikmati keindahan meskipun dalam dingin dan lelah di Atap Pulau Bali.

Pukul tujuh pagi, puncak sudah didepan mata…

Cuma tinggal beberapa susunan batu besar saja yang harus saya lewati, dan saya akan sampai di titik tertinggi di Pulau Bali, 3142 m dpl. Terpaut beberapa meter saja tingginya dari Puncak jalur Pura Besakih. Beberapa Turis yang ada di puncak tampak melambaikan tangan pada kami, beberapa diantara mereka juga sudah ada yang turun. Saya dan Mas kadek sudah didepan, kami berdua sampai duluan di Puncak. Karena lelah, Andy duduk sebentar, sambil memotret pemandangan yang disuguhkan oleh sang Alam. Sepuluh menit lewat dari pukul tujuh, Andy tiba di Puncak Gunung Agung, Akhirnya.

Puncak Gunung Agung (3142 m dpl)

Batu-batuan terjal yang kami tanjaki sejauh 5 jam ini akhirnya berujung di bibir Kaldera Puncak Gunung Agung sisi selatan. Kabut langsung turun menyambut kami ketika kami tiba di Puncak. Mas Kadek terlihat sedang sembahyang didepan sebuah Patung kecil disisi jurang, dan Saya terlihat sedang asyik bermain dengan kamera digitalnya. Puncak gunung Agung berupa cekungan kecil di sisi bibir kaldera, disekitarnya adalah bebatuan cadas yang tinggi menjulang. Dari sini pemandangan masih terlihat begitu luas. Hampir semua pulau Bali sisi selatan terlihat dari sini. Sementara, Pura Pasar Agung yang menjadi Basecamp kami terlihat begitu kecil nun jauh dibawah. Mas Kadek memperingatkan kami agar tidak terlalu dekat dengan bibir kawah, karena struktur tanah disisi kaldera rawan sekali longsor. Kawah Gunung Agung tidak terlalu besar, berdiameter kurang lebih 250 meter dengan kedalaman kira-kira 30 meter. Jauh sekali apabila dibandingkan dengan Kawah Gunung Raung(3332 m dpl). Diseberang Kaldera adalah Puncak Jalur Pura Besakih, tampak sayup dalam saputan kabut pagi. Meskipun cuaca tidak begitu bagus pagi itu, tapi kami cukup puas. Karena memang inilah tujuan kami; Atap Pulau Bali.

Puncak Gunung Agung adalah sebuah celah sempit di bibir kawah, diapit oleh batu-batuan cadas yang tinggi menjulang di sisi-sisinya. Pada saat itu terlihat agak kotor oleh bungkus makanan, kembang dan sisa-sisa sesajen lainnya. Ada juga sebuah patung kecil di Puncak, Mas Kadek menyebutnya “Hyang”. Biasanya para Pedante, Mangkuh dan penduduk sekitar sering mengadakan Sembahyang dan menaruh sesajen/persembahan disini. Tak beberapa lama, terlihat sekelompok orang naik ke puncak dengan pakaian serba putih. Ternyata mereka adalah penduduk sekitar yang hendak melakukan ritual di Puncak. Sebuah kotak persembahan berisi sajen tampak mereka bawa juga. Seketika mereka tiba, suasana di Puncak yang semula cuma ada kami bertiga langsung jadi ramai. Mereka tampak sibuk dan khusuk dalam ibadahnya. Sebuah pemandangan yang unik untuk di dokumentasikan; akhirnya kami dapat kesempatan menyaksikan secara langsung ritual Ibadah masyarakat sekitar di Puncak Gunung Agung. Sungguh sebuah pengalaman yang tak terlupakan.

Setelah puas berfoto, dan menikmati pemandangan di Puncak. Pukul 08.00 WITA kami turun. Kali ini kami baru melewati jalur pendakian yang umum digunakan. Ternyata dari puncak, kami menyisir ke barat menuruni punggungan bukit-bukit batu cadas. Turunnya ternyata juga tak kalah susah dengan naiknya, batuan yang tertutup lumut sangat licin ketika dipijak, membuat saya berkali-kali jungkir balik saat turun. Mas Kadek yang sudah terbiasa, dengan lihai bisa melangkah cepat menuruni batu-demi batu. Makin kebawah, jalanan turun makin curam. Serpih-serpih kerikil makin menambah susah trek turun kami. Ternyata, para turis yang tadi turun duluan ada didepan kami; mereka juga tampak kesulitan menuruni trek. Dan, pukul 10.40 akhirnya kami tiba kembali di Pura Pasar agung.

Tips Pendakian ke Gn. Agung
1. Jangan sungkan dalam menawar Harga disini. Baik itu harga Guide, Cinderamata, dll. Sebab semuanya ditawarka 2x lipat bahkan lebih pada awalnya.
2. Jika ingin mengirit budget; pilih Jalur Pura Pasar Agung saja
3. Kalau bisa, mendakilah dalam jumlah rombongan banyak. Sebab bisa membantu menekan patungan ongkos guide.
4. Jangan bwa keril besar dan tenda. Daypack saja sudah cukup. Sebab pendakian gunung agung adalah pendakian singkat
5. Sebelum berangkat, pastikan terlebih dahulu kalau pilihan hari anda bukanlah hari peribadatan di Pura setempat/ hari Besar umat Hindu.
6. Siapkan trekking pole; karena sangat dibutuhkan.
7. Bawalah uang lebih. Sebab, akan selalu ada saja biaya tak terduga selama pendakian.
8. Jagalah sikap dan ucapan selama pendakian. Sebab, Gunung agung adalah Gunung yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Bali.

Nikmati perjalanan…….karena ini akan jadi moment yang tak terlupakan kawand!!

8 comments

  1. Jadi brp bayar guide pura pasar agung? Bisa minta no hpnya mas kadek ke email sy pujiantorod@yahoo.co.id terimakasih infonya


    • waktu itu ane ongkos guidenya 250K
      no hapenya Bli Kadek : 085238519397


  2. cerita trekking nya bagus dan menarik mas, bisa sharing no hp bli kadek ? saya rncana pengin juga trekking kesana. terimakasih.


    • Bli Kadek : 085238519397

      ndak tahu masih aktif atau tidak 🙂


  3. Waaaaw mantab sangat mas ceritanya bikin ngiri pengen kesana juga, klo boleh tau berapa bayar guide nya mas, trus sekalian no hp bli kadek nya? makasih mas


    • ongkos guidenya 250 ribu
      no hapenya Bli Kadek : 085238519397


  4. bayar guide berapa dan no hp nya mas kadek berapa>bisa email saya di endik@drymix.co.id


    • waktu itu ane ongkos guidenya 250K
      no hapenya Bli Kadek : 085238519397



Leave a reply to ste traveler Cancel reply